Seminar " One Is One's Own Lord "

Luar Biasa...

Acara Spetakuler yang diselenggarakan UKM Buddha pada Awal Tahun 2008 , yaitu Acara Seminar “One Is One’s Own Lord “ bersama pembicara Motivator No.1 Indonesia Andrie Wongso dengan moderator Drs. Ponijan Liaw,MBA,M.Pd. Acara seminar ini dilaksanakan di Hotel Planet Holiday –Batam, pukul 13.00 s/d 17.00. Yang diikuti oleh 600an peserta dengan mayoritas mahasiswa/i Buddhis UIB, Umat Buddha di Kota Batam dan sekitarnya, serta para simpatisan Buddhis UIB dan Simpatisan Buddhis .

Pembukaan dimulai dengan sambutan meriah dari Saudari Nita selaku MC pada acara seminar ini. Kemudian dilanjutkan kata sambutan dari Ketua Panitia Seminar yaitu Andi Irawan, kemudian dilanjutkan kata sambutan dari Bapak Sudir, S.Pd dan Bapak Teddy Jurnali,Mm.msi.

Kemudian dilanjutkan nyanyian pembukaan oleh Olivia Yunita dengan judul lagu ”Hero” , yang sesuai dengan topik acara seminar ini ”One Is One’s Own Lord”.

Pembukaan acara dibawakan oleh Moderator Top di Indonesia , yaitu Bpk Ponijan Liaw.
Bentuk kegiatan berupa Seminar presentasi dan tanya-jawab, dengan pembicara utama Bapak ANDRIE WONGSO, Motivator No. 1 di Indonesia, dengan moderator Bapak PONIJAN Liaw dan diselingi dengan hiburan nyanyian Lagu Buddhis oleh Artis Buddhis Indonesia, OLIVIA YUNITA dan CANDANI.









Pada acara tersebut, Bapak Andrie Wongso memberikan motivasi kepada kita semua supaya kita menjadi lebih baik daripada sekarang. Sehingga kita bisa menjadi sukses, baik dalam lingkungan kerja, sekolah, dan lain-lain. Melalui tempaan berupa ujian, cobaan, kesulitan, kegagalan, kita dapat merasakan bahwa itu semua adalah proses perjuangan yang luar biasa. Kita meharuskan menanamkan Viriya ( Jing shen/ Semangat) dalam mencapai suatu kesuksesan.

Proses perjuangan Bapak Andrie Wongso yang luar biasa dan kemampuan merubah nasib inilah yang mendasari munculnya filosofi ”Success Is My Right”, sebuah filosofi yang membuka pola pikir kita bahwa sukses adalaha hak saya, hak anda, dan hak semua orang yang menyadari, menginginkan, dan memperjuangkan dengan sepenuh hati.Penutupan acara seminar ini, diakhiri dengan lagu ” Dalam Dhamma”yang dibawakan OLIVIA YUNITA, CANDANI , dan Mahasiswa/i UKM Buddha.

Kami mengucapkan terima kasih kepada para sponsor yang turut mendukung dalam acara seminar ini, tanpa bantuan para sponsor acara ini tidak terselenggara dengan baik.
( Erwin)

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
SemogaSemua Makhluk Hidup berbahagia

Motivasi dalam Buddhisme


Pada umumnya motivasi yang muncul karena didasari kesadaran atau keinginan sendiri (dari dalam) akan lebih kuat dibandingkan motivasi yang dipaksakan orang lain, walaupun pada akhirnya motivasi tersebut bisa juga menjadi kuat setelah hasilnya dirasakan pelakunya. Lihat saja contoh Pangeran Siddharta, tidak ada orang lain yang mendorong Beliau untuk meninggalkan istananya yang mewah, isterinya yang cantik, dan anaknya yang baru lahir, demi mencari obat mujarab untuk mengakhiri penderitaan manusia.

Motivasi yang kuat ataupun lemah terlihat dari tingkah laku sehari-hari. Kebutuhan individu untuk berhasil merupakan salah satu bentuk stimulus/ rangsangan yang mendorong motivasi seseorang. “ Stimulus adalah hal-hal yang menyebabkan bangkitnya atau timbulnya tanggapan-tanggapan atau tindakan-tindakan tertentu, sedangkan “Respons” adalah tindakan kita terhadap stimulus yang dataang.

Berbagai faktor yang menentukan respon kita yaitu : kesadaran diri, imajinasi, hati nurani, dan kekuatan tekad. Agar lebih tepat dalam memilih respons tersebut kita harus menyadari perasaan, emosi, dan kondisi fisik kita, pengaruh dari luar, pengaruh respons kita terhadap kita sendiri maupun orang lain.

Berbagai hal yang dapat membantu dalam usaha meningkatkan kesadaran diri antara lain :

Berbicara di depan cermin

Merekam pembicaraan sendiri

Meminta Umpan Balik

Evalusai keyakinan, pandanganm nilai dan perasaan

Membuat catatan harian

Sumber –sumber referensi dapat berasal dari internal maupun eksternal. Yang paling besar pengaruhnya adalah referensi internal, yang lazim disebut sebagai pengalaman, karena memang merupakan hal yang dialami kita sendiri dari paradigma, dari pelajaran, dari visi dan misi pribadi kita. Oleh karena itu, referensi internal dapat diperkaya melalui banyak belajar, membaca, mengikuti pelatihan, pada saat bersamaan referensi eksternal jga diperkaya misalnya dengan pergaulan, atau menjadi anggota organisasi, semisal UKM Buddha, UKM Komputer dsb

Daya imajinasi dapat diolah dengan cara :

  1. Melihat segala sesuatu dari segala sudut pandang, jangan hanya dari satu sudut saja
  2. Mempertanyakan batasan-batasan yang ada, yang mungkin harus diterapkan
  3. Hubungkan hal-hal yang mungkin tampaknya tidak berhubungan
  4. Rileks dan tidak tegang (tense)
  5. Jangan mengkritik ide-ide orang lain, sebaliknya seringlah bertukar ide dengan orang lain, karena saling bertukar ide dapat memperkaya semua pihak.

Hambatan ? Tentu, selalu ada saja hambatan atas usaha-usaha yang dilakukan. Kita bagaikan terjepit di bawah hambatan-hambatan tersebut. Untuk mengatasinya, tidak lain kita harus memperkuat faktor-faktor yang menjadi pendorong kita. Itulah kekuatan tekad, yang dapat dan harus diperbesar untuk melawan faktor-faktor penghambat.

Pada beberapa individu, terdapat kecenderungan untuk menghindar dari masalah yang timbul. Hal ini dikenal dengan istilah “Flight” atau melarikan diri dari masalah. Kebalikannya adalah “fight“ atau menghadapi dan berusaha memecahkan masalah yang timbul, karena masalah adalah tantangan, yang jika dihadapi dengan benar dan tepat, dapat memperkuat kekuatan kita, dan sebaliknya, menghindari tantangan tanpa pernah berusaha sama sekali, akan memperlemah kita. Asalkan kita mau berusaha dan mencoba dengan tekad dan pikiran positif, tantangan seperti apapun beratnya, akan dihadapi dengan baik.

Kita baru mulai melangkah, diperlukan kegigihan luar biasa untuk mencapai keberhasilan, dan kita sendiri yang akan memetik buahnya kelak. Apa yang dilakukan jika semua usaha kita gagal ? Terimalah kenyataan dari kegagalan itu, dan berusahalah belajar dari kegagalan, jadikan kegagalan sebagai bahan evaluasi, intropeksi untuk meningkatkan diri di masa mendatang, sehingga kalaupun kita terjatuh, tidak akan menggelinding ke bawah, melainkan menggelinding ke atas. Penolakan kita atas kegagalan yang terjadi, tidak akan memperbaiki keadaan, melainkan memperlemah kita sendiri karena hati nurani tidak bisa dibohongi.

Suatu banyak contoh keberhasilan orang-orang besar yang memiliki motivasi luar biasa kuat walaupun pada awalnya mereka mengalami kegagalan, yang bukan hanya sekali dua kali, namun berkali-kali, bahkan ada yang sampai puluhan kali.

Marilah kita senantiasa memupuk motivasi yang kuat sesuai Dhamma untuk menjadi umat Buddha yang lebih baik, dan lebih baik lagi dalam hidup kita, sampai akhirnya mencapai kebahagiaan Nibbana.

Artikel ini dikutip dari Majalah Permata Dhamma

BELAJAR MELEPAS


“ Lin, lo tau kan jepit rambut gw yang berbentuk hati yang dikasih sama Bobby?”

“ Ya, emang kenapa, Mit?”

“ Jepit rambutnya ilang, Lin. Tadi ketinggalan di meja toilet kampus. Gara-gara buru-buru mau ada quiz, waktu keluar toilet lupa gw ambil, hikz…”

“ Yee, lo sendiri sih yang ceroboh. Udah tau jepit rambut lo bagus, buatan Amrik pula, truz hadiah Valentine dari Bobby lagi. Lo udah bilang Bobby kalo jepitan lo ilang?”

“ Udah Lin, truz parahnya lagi, dia malah marah-marah sama gw. Katanya gw ga bisa jaga baik-baik tanda cinta dari dia”. “ Truz gimana kelanjutannya ?”

“ Dia cuekin gw dari tadi. Gw bener-bener takut keilangan dia, Lin. Gw jadi ga nafsu makan ni. Mau ngapa-ngapain ja jadi males. Yang di pikiran gw cuma jepitan itu dan Bobby. Lo tau ga sih di mana jepitan gw, lin?”.

“ Mit, lo nyadar ga sih, jepitan lo itu adanya yah di pikiran lo sendiri. Udah jelas-jelas kalo ilang di kampus susah nyarinya, masa perlu gw tanyain satu per satu orang-orang di kampus, udah jelas jumlahnya ribuan, Mita. Mending lo relain ja jepitan lo yang ilang itu. Truz masalah Bobby, jangan terlalu lo pikirin, kalo dia bener-bener cinta sama lo, jepitan itu ga lebih berarti daripada diri lo”.


Mungkin kita sering menghadapi peristiwa seperti yang dialami Mita. Kadang-kadang kita menghabiskan energi kita untuk meratapi hal-hal yang telah pergi dan hilang. Kehilangan uang, barang, ataupun orang yang kita cintai. Kita hanya bisa meratap, menangis, dan kecewa. Padahal sebagai umat Buddha, kita tahu bahwa masih berputar-putar di alam samsara adalah dukkha. Selain itu, sabbe sankhara anicca, semua yang berkondisi tidak kekal. Jadi, untuk apa kita bersedih saat kehilangan segala yang kita cintai?



Karena pada dasarnya kita pun tahu bahwa keberadaan mereka tidak kekal, mereka akan pergi dan mereka tidak akan ada di sisi kita selama-lamanya. Mungkin saat pertama kali harus berpisah atau kehilangan, timbul keegoisan dan keserakahan dari diri kita. Mana “ milikku”? tapi, apakah semuanya itu benar-benar milik Anda??? Bila Anda berpikiran seperti itu, apa bedanya Anda dengan si dungu dalam syair Dhammapada di bawah ini : Anak-anak adalah milikku, kekayaan adalah milikku. Demikianlah si Dungu menjadi jengkel. Dirinya sendiri sesungguhnya bukan miliknya, bagaimana mungkin anak-anak dan kekayaan (menjadi miliknya)? Dhammapada 62 ( Bala Vagga 3) Mungkin permasalahan utamanya adalah bagaimana kita harus belajar melepas. Tidak ada konsep “milikku” mungkin lebih baik.



Dengan demikian, bila kita harus kehilangan, kita tidak akan menjadi sakit, tak ada sedih, kecewa maupun penderitaan. Bahkan tidak ada pula konsep “diriku”, Anatta. Semua konsep itu hanya hasil bentukan dari pikiran kita. Pernakah Anda menyadari, semakin banyak yang Anda miliki, maka semakin besar pula rasa ketakutan Anda akan kehilangan. Bagaimana Anda bisa berbahagia bila keadaannya seperti itu? Perasaan Anda tak pernah terbebas. Semuanya “milikku, milikku, milikku”, “ Aku takut kehilangan”. Mengapa Anda harus takut? Karena pada akhirnya Anda juga akan kehilangan diri Anda, kematian akan datang juga.



Thich Nhat Hanh pernah berkata, tiada kematian, tiada ketakutan. Pada saat kematian datang, itu adalah awal untuk kelahiran yang selanjutnya. Jadi, untuk apa ditakuti, selama masih berada di samsara, proses tersebut tidak akan pernah berakhir. Tidak ada awal dan akhir. Semuanya hanya konsep yang kita buat. Coba Anda bayangkan, ketika Anda melihat kuncup bunga hari ini, mungkin kuncup itu akan berubah menjadi bunga indah beberapa hari kemudian. Lalu timbul pertanyaan, kemana perginya kuncup bunga yang Anda lihat beberapa hari yang lalu? Kuncup itu tak lain adalah bunga indah yang sedang Anda pandangi pada hari ini. Dua benda itu tak sama, tapi tak berbeda juga. Konsep hilang dan muncul hanya ada di dalam pikiran Anda, padahal secara alami keduanya tidak ada.



Contoh lain adalah ketika Anda telah melihat matahari hari ini terbit dan tenggelam. Lalu, ketika besok matahari itu terbit lagi, Anda pasti akan bertanya, matahari yang sama kah seperti yang kemarin? Semunya hanya konsep dari pikiran Anda. Selama Anda belum bisa melepaskan konsep-konsep itu, maka Anda tidak bisa bahagia. Mungkin orang yang paling simple pikirannya adalah orang termiskin di dunia ini karena mereka tidak memiliki ketakutan akan kehilangan miliknya. Jadi mengapa kita tak mencoba membuang konsep “milikku”? Karena semakin kita merasa tak memiliki apa-apa, kita tak akan pernah memiliki rasa takut kehilangan. (KMBUI)

Atasilah Rasa Marah Anda


Kesadaran seseorang seharusnya diperkuat dengan berfikir, "Mereka yang tidak memiliki kesabaran akan menderita akibat ketidaksabarannya sendiri, dan melakukan sesuatu yang akan membawa penderitaaan pada kehidupan selanjutnya."


Ia seharusnya berpikir, "Sekalipun penderitaan ini timbul akibat perbuatan salah orang lain, tetapi tubuhku merupakan tempat berlangsungnya penderitaan ini, dan perbuatan yang menimbulkan penderitaan tersebut merupakan milikku (akibat dari kamma yang berbuah)."


Ia juga seharusnya berpikir, "Penderitaan yang aku terima akan membebaskanku dari hutang-hutang (buah) kamma burukku." "Bila tidak ada seorangpun yang berbuat kesalahan, bagaimana aku dapat melatih dan menyempurnakan kesabaranku?" "Sekalipun saat ini ia berbuat kesalahan, tetapi dahulu dia mungkin seorang yang murah hati terhadapku."


Selanjutnya ia juga seharusnya berpikir, "Semua mahluk bagaikan anak-anakku sendiri dan orang tua manakah yang menjadi marah dan dendam karena kesalahan yang dilakukan oleh anak-anaknya?" Akhirnya ia seharusnya berpikir, "Ia berbuat salah kepadaku (mungkin) karena kesalahan yang ada dalam diriku, aku harus berusaha untuk melenyapkan kesalahan itu (bukan sebaliknya berbuat kesalahan yang baru)". By : NN, KMBUI